JAKARTA - Kejamnya pengaruh narkoba dan obat-obatan terlarang tiada dua. Generasi muda yang tadinya dianggap penerus bangsa bisa jadi sampah masyarakat. Tiada masa depan indah dalam hidup mereka. Rodrigo Duterte pun berpikir hal yang sama.
Presiden Filipina era 2016-2022 pun coba bergerak memutuskan mata rantai peredaran narkoba di Filipina. Ia memilih cara yang terlampau ekstrem: pembantaian. Upaya pelanggaran HAM berat itu dianggap solusi. Ia bahkan bangga menyamakan dirinya dengan Adolf Hitler.
Peredaran narkoba --sabu hingga ganja-- begitu marak di Filipina. Bisnis haram itu paling menjanjikan. Pengedar dan pecandunya terus bertumbuh. Kondisi itu memancing Rodrigo Duterte ambil sikap. Presiden Filipina itu telah melihat sendiri pertumbuhan pecandu narkoba yang besar di Filipina.
Narkoba dianggapnya dapat mengubah masyarakat baik jadi jahat. Bahkan, mereka dianggap sebagai ancaman besar jika dibiarkan. Duterte pun ambil sikap. Ia mencoba langka besar melawan peredaran narkoba.
Ia tak saja ingin memutus mata rantai peredaran narkobanya saja. Ia ingin pula memberantas pengedar dan pecandu narkoba. Operasi perang besar melawan narkoba dimulai sedari 2016. Duterte mengizinkan aparat keamanan untuk menembak mati pengedar dan pecandu narkoba.

Operasi yang dilakukan Duterte bak mengubah seisi Filipina jadi medan pembantaian. Saban hari pengedar narkoba yang kedapatan ditembak mati bak hewan liar. Bau darah hadir di seantero Filipina – di depan toko, jalanan, hingga restoran cepat saji.
Mereka yang dibunuh biasanya ditutup dengan kardus bertuliskan nama dan posisinya sebagai pengedar atau pecandu. Mereka yang dibunuh tak melulu kaum marjinal. Banyak pula di antara pejabat, pegawai, hingga aparat keamanan yang terdeteksi bagian dari perusak masyarakat.
Ada yang melindungi operasi jualan narkoba. Ada pula yang bertindak sebagai pebisnis yang memberikan modal. Duterte membunuh mereka seraya tanpa pandang bulu. Sekalipun kemudian ada ribuan orang yang belum dipastikan penyebab terbunuhnya.
Tindakan Duterte mendapatkan kecaman dari dunia internasional. Duterte dianggap melakukan pelanggaran HAM berat. Namun, Duterte terus saja melancarkan operasi pembantaiannya. Ia menganggap dirinya lebih tahu masalah Filipina dibanding orang lain.
“Perang melawan kriminalitas bukanlah perang melawan kemanusiaan. Sebaliknya, ini adalah perang untuk melindungi kemanusiaan dari kejahatan zaman modern. Mengatakan sebaliknya berarti melemahkan keinginan masyarakat yang sah untuk terbebas dari rasa takut dan menuruti kepentingan para penjahat,” ujar Juru Bicara Duterte, Ernesto Abella sebagaimana dikutip Felipe Villamor dan Mike Ives di laman The New York Times berjudul Duterte May Be Guilty of Crimes Against Humanity, Rights Group Says (2017).
Seperti Hitler
Duterte menganggap aksinya memerangi pengedar dan pecandu narkoba adalah tindakan benar. Ia tak peduli dengan ocehan orang-orang yang mengecamnya. Ia menganggap masalah narkoba di Filipina kompleks dan butuh tindakan kekerasan untuk melindungi banyak manusia di masa depan.
Ia bak memberikan sinyal kepada para pengkritik dan dunia bahwa ia suka membantai demi masa depan Filipina. Duterte bahkan menyamakan dirinya dengan pemimpin Nazi, Adolf Hitler pada akhir September 2016. Duterte mengungkap bahwa Jerman punya Adolf Hitler, maka Filipina punya dirinya.
Hitler dianggapnya telah membantai tiga juta Yahudi (data yang ada menyebut 6 jutaan orang). Duterte pun menyebut pecandu narkoba di Filipina bisa mencapai tiga juta juga. Kenyataan itu membuatnya kian semangat dengan senang hati membantai mereka.
Penyataan Duterte yang menyamakan dirinya dengan Hitler ditentang banyak pihak. Tidak elok membandingkan antara kekejaman holocaust dengan membantai rakyat sendiri gara-gara narkoba. Kaum Yahudi sedunia pun mengutuk Duterte.
BACA JUGA:
Penyataannya dianggap menjijikan dan tidak manusiawi. Pemimpin Filipina itu dianggap sudah gila. Sebab, tiada orang normal di dunia yang mau membanding dirinya dengan pembunuh jutaan Yahudi macam Hitler. Mereka meminta Duterte segera meminta maaf.
Duterte pun segera merespons. Ia memang meminta maaf. Namun, ia punya jawaban sendiri kenapa membandingkan dirinya dengan Hitler. Ia menganggap bahwa musuh-musuhnya kerap menyamakan Duterte dengan Hitler. Maka Duterte pun tak masalah. Ia justru menggunakan pernyataan itu sebagai perlawanan terhadap pengedar narkoba.
"Saya ingin memperjelasnya sekarang, di sini dan sekarang, bahwa tidak pernah ada niat saya untuk merendahkan ingatan akan pembunuhan enam juta warga Yahudi. Referensi untuk saya adalah, saya seperti Hitler, yang membunuh banyak orang.”
"Saya meminta maaf secara mendalam dan sungguh-sungguh kepada komunitas Yahudi ... Itu tidak pernah menjadi niat saya (menyinggung warga Yahudi), tapi masalahnya saya dikritik, saya dibandingkan dengan Hitler," ujar Rodrigo Duterte sebagaimana dikutip laman detik.com, 3 November 2016.