Bagikan:

JAKARTA – Menjelang kunjungan ke Timur Tengah dan Afrika, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan niatnya mengevakuasi sekitar 1.000-an korban konflik di Gaza untuk dirawat di Indonesia.

“Kami siap mengevakuasi mereka yang terluka atau trauma, dan anak-anak yatim, jika mereka ingin dievakuasi ke Indnesia, dan kami siap mengirim pesawat untuk mengangkat mereka,” kata Presiden Prabowo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, sebelum bertolak ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Rabu (9/4/2025) dini hari WIB.

Ide Prabowo soal evakuasi warga Gaza ke Indonesia mengundang kebingungan sejumlah kalangan. Gagasan ini pun jadi pembicaraan hangat di media sosial. Tak sedikit public figure yang mempertanyakan ide tersebut.

Penyanyi Nadin Amizah membuat unggahan Instastory untuk menanggapi pernyataan Prabowo. Ia mengisyaratkan penolakannya dengan ide Prabowo memboyong warga Palestina ke Tanah Air.

Presiden RI Prabowo Subianto berbicara dalam Antalya Diplomacy Forum (ADF) di Antalya, Turki, pada 11 April 2025. (ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden)

“Warga Palestina butuh pengungsian atau evakuasi. Mereka butuh merdeka, mereka butuh tanah mereka. Kita bergerak ke arah yang salah,” tulis Nadin.

Digagas Presiden AS Donald Trump

Ide Presiden Prabowo ini mendapat dukungan dari anggota Komisi I DPR Sukamta. Politikus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahkan berharap evakuasi korban luka dan anak-anak yatim piatu Gaza bisa segera dilaksanakan.

Ia berpendapat, mengevakuasi korban luka dan anak yatim ini berbeda dari ide Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memindahkan warga Gaza. Menurut Sukamta, komunitas internasional termasuk Indonesia perlu membantu warga Gaza yang menjadi korban serangan Israel.

“Sangat penting untuk bisa dilakukan segera evakuasi, terutama korban luka dan juga anak-anak yatim piatu,” katanya.

Desas-desus soal Indonesia bakal menampung warga Gaza sudah mulai berembus sejak Januari lalu. Ketika itu Israel dan Hamas baru memasuki tahap pertama dari tiga fase proses perdamaian yang dimediasi oleh Amerika Serikat.

Di momen itu, AS juga mulai menyusun solusi jangka panjang dari konflik tersebut, di antaranya membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat perang. Saat itulah muncul gagasan supaya warga Gaza direlokasi dulu karena wilayah tersebut dinilai tidak aman untuk dihuni selama proses pembangunan.

Sejumlah simpatisan dari Aqsa Working Group berunjuk rasa mengecam kekerasan Israel terhadap warga Gaza, Palestina di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Jumat (11/4/2025). (ANTARA/Aditya Pradana Putra/Spt)

Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara yang dipertimbangkan untuk menjadi tujuan relokasi. Namun setelah kabar itu beredar, Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan pemerintah tidak pernah menerima informasi apa pun terkait rencana relokasi warga Gaza.

"Indonesia tetap tegas dengan posisi: segala upaya untuk memindahkan warga Gaza tidak dapat diterima," demikian pernyataan Kemlu saat itu.

"Upaya untuk mengurangi penduduk Gaza hanya akan mempertahankan pendudukan ilegal Israel atas wilayah Palestina dan sejalan dengan strategi yang lebih besar yang bertujuan untuk mengusir orang Palestina dari Gaza," imbuh pernyataan tersebut.

Tak lama kemudian usulan merelokasi warga Gaza dilontarkan Trump. Tapi waktu itu ia mengatakan warga yang direlokasi tak bisa kembali lagi. Rencana ini jelas menimbulkan kecaman dari banyak pihak, karena itu sama saja dengan mengusir warga Gaza dari tanah mereka sendiri.

Berpotensi Langgar Konstitusi

Itulah sebabnya, pengumuman Prabowo untuk menerima 1.000 warga Gaza di Indonesia membuahkan tanda tanya besar, meski Sang Presiden dan jajarannya bilang ini sifatnya hanya sementara, yaitu sampai mereka sembuh dan situasi aman barulah dikembalikan ke daerah asal.

Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam Hasibullah Satrawi menyampaikan apreiasinya atas niat baik Presiden Prabowo. Dari satu sisi, gagasan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan.

Namun ia menekankan, langkah ini tidak bisa hanya didasari niat baik semata. Butuh kajian strategis dan pemahaman menyeluruh atas situasi geopolitik Gaza saat ini.

“Kita harus waspada agar tidak menjadi bagian dari upaya relokasi paksa yang dikehendaki Israel dan sekutunya,” kata Hasibullah.

Ia pun mengingatkan bahwa sejak 18 Maret 2025 Israel menolak melanjutkan gencatan senjata. Sebaliknya, mereka malah intensif menggempur Gaza. Akibatnya, lebih dari 50.000 warga Palestina meninggal dan 115.000 lebih lainnya terluka. Di antara mereka adalah anak-anak. Evakuasi tanpa syarat yang jelas, kata Hasibullah, hanya akan memperkuat misi penjajahan Israel di wilayah Gaza.

“Tanpa komitmen gencatan senjata dan kemerdekaan Palestina yang nyata, evakuasi ini bisa jadi karpet merah bagi musuh-musuh Palestina untuk mengosongkan wilayah Gaza,” tegasnya.

Hal senada juga dituturkan Smith Alhadar, pengamat isu geopolitik Timur Tengah. Rencana Prabowo dikhawatirkan memantik protes, tidak hanya dari dalam negeri tapi juga dunia internasional. Menurut Smith, gagasan menampung warga Gaza di tengah kondisi Indonesia yang juga sedang tidak baik-baik saja bisa memicu demonstrasi besar-besaran.

“Ini justru mengancam pemerintahannya. Bisa terjadi demo besar-besaran. Ia akan melakukan suatu blunder di tengah keresahan masyarakat,” ucap Smith.

Selain itu, Smith juga menilai dengan rencana ini Prabowo berpotensi melanggar konstitusi Indonesia. Selama ini, Indonesia menentang segala bentuk penjajahan, termasuk yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Sedangkan rencana relokasi ini justru berpotensi mendukung Israel melakukan penjajahan.

"Kita itu punya konstitusi yang secara jelas mengamanatkan bahwa penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan dan kemerdekaan adalah hak semua bangsa. Sekarang, mana konstitusi yang kita pegang dari dulu?" kata Smith.