Memahami Proses Pembuktian dan Hak Ferdy Sambo Sebagai Terdakwa
Ferdy Sambo ketika akan menjalani sidang perdana kasus pembunuhan Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 17 Oktober 2022. (VOI/Rizky Adytia Pramana)

Bagikan:

JAKARTA - Sidang Ferdy Sambo atas kasus dugaan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat kembali akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Oktober 2022 dengan agenda putusan sela.

Bila hakim menyetujui eksepsi penasihat hukum atas dakwaan jaksa penuntut umum, maka dakwaan tidak berlanjut atau hakim memerintahkan jaksa menyusun kembali surat dakwaannya. Sebaliknya, bila menolak, sidang Ferdy Sambo kemungkinan berlanjut ke agenda pembuktian.

Untuk dapat membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang terdakwa, harus melalui proses pemeriksaan di depan sidang, yakni dengan memperhatikan dan mempertimbangkan pembuktian.

“Sehingga, tidak ada seseorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Juga, kalau seseorang memang bersalah, jangan sampai mendapat hukuman terlalu berat. Hukuman harus setimpal atau seimbang dengan kesalahannya,” kata Andi Muhammad Sofyan dalam bukunya ‘Hukum Acara Pidana’ edisi ketiga.

Sesuai Pasal 6 UU No.48 Tahun 2009 tetang Kekuasaan Kehakiman, “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Alat pembuktian yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain:

Keterangan terdakwa Ferdy Sambo yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah. (Antara/Sigid Kurniawan)

Keterangan atau Pemeriksaan Saksi

“Menurut Pasal 1 angkat 27 KUHAP, salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu,” kata Andi.

Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantara hakim ketua sidang diberi kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi.

Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut. Terkait ini, terdakwa dapat mengajukan keberatan atau bantahan atas keterangan saksi tersebut atau sebaliknya menerima dan/atau menambahkan serta memperjelas atas keterangan saksi, sesuai Pasal 164 ayat (1) KUHAP.

“Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada saksi,” Andi melanjutkan dalam bukunya.

Keterangan Ahli

Bila masih perlu dilakukan pemeriksaan untuk lebih memperjelas pengungkapan perkara, baik penuntut umum maupun terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan seorang ahli memberikan keterangan ahli di depan persidangan.

Ketika muncul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap keterangan ahli, hakim bisa memerintahkan melakukan penelitian ulang dan dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personel berbeda dan instansi lain yang memiliki wewenang sama. Ini sesuai dengan Pasal 18 KUHAP.

“Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dana minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan, sesuai Pasal 180 ayat (1) KUHAP,” tutur Andi.

Alat Bukti Surat

Alat bukti surat yang sah dalam persidangan antara lain, berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang.

Serta, surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal yang atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi.

“Contoh seperti berita acara pemeriksaan yang dibuat penyidik Polri, berita acara pemeriksaan pengadilan, dan lain sebagainya,” ucap Andi.

Alat Bukti Petunjuk

Sebagaimana Pasal 188 KUHAP, petunjuk sebagai alat bukti adalah:

  1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
  2. Petunjuk sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
  3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Ilustrasi - Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan berdasarkan minimal dua alat bukti. (Pixabay)

Keterangan Terdakwa

Menurut pasal 189 Ayat 1 KUHAP keterangan terdakwa adalah keterangan yang diberikan oleh terdakwa di depan persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau alami sendiri.

Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

“Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti lain,” bunyi Pasal 189 ayat 2 dan 3.

Masalah pembuktian adalah hal penting. Pasal 6 ayat 2 KUHAP telah menegaskan, tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

“Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem negatif menurut undang-undang. Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan berdasarkan minimal dua alat bukti,” tulis Andi masih dalam buku ‘Hukum Acara Pidana’ edisi ketiga.

Terkait itu, terdakwa juga memiliki hak seperti yang diatur dalam KUHAP, antara lain:

  • Pasal 165 ayat 2 KUHAP, terdakwa berhak mengajukan pertanyaan kepada saksi. Ayat 4, terdakwa berhak saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran mereka masing-masing.
  • Pasal 166 KUHAP, terdakwa berhak menolak atau tidak menjawab pertanyaan yang bersifat menjerat.
  • Pasal 167 KUHAP, terdakwa berhak tidak memberikan izin kepada saksi meninggalkan ruang sidang.
  • Pasal 172 ayat (1) KUHAP, terdakwa berhak mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, misalnya agar di antara saksi yang telah didengar keterangannya yang tidak dikehendaki kehadirannya dikeluarkan dari ruang sidang.
  • Pasal 174 (2) KUHAP, terdakwa berhak meminta agar saksi yang memberikan keterangan palsu supaya dapat ditahan dengan dakwaan palsu.
  • Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP, terdakwa berhak mengajukan pembelaan atas tuntutan pidana yang diajukan oleh penuntut umum. Selanjutnya Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP, terdakwa berhak mengajukan pembelaan secara tertulis.
  • Pasal 116 ayat (3) KUHAP: Hak terdakwa untuk mendapatkan saksi yang dapat meringankan atau yang menguntungkan baginya.

Pasal 65 KUHAP, terdakwa berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.